Adat Lompat Batu Suku Nias
Suasana Desa Baweu Mate Luwo sejak pagi telah ramai. Berbondong-bondong masyarakat pergi ke pancuran untuk mandi atau mengambil air. Letak desa yang tingi menyulitkan penduduk untuk memperoleh air. Air diperoleh penduduk dari mata air di atas bukit, yang kemudian dialirkan dengan pipa ke bak penampungan kemudian dialirkan lagi ke rumah-rumah penduduk di kampung.
Sementaara itu anak-anak bermain di halaman sambil menunggu ibu-ibu menyiapkan sarapan. Sejak kecil anak-anak telah dikenalkan dengan permainan lompat batu yang menjadi tradisi khas orang Nias.
Sebagaimana namanya Baweu Mate Luwo yang berarti Bukit Matahari, letaknya di puncak bukit. Untuk mancapainya kita harus meniti puluhan anak tangga. Rumah di desa ini tersusun rapi sepanjang lorong-lorong yang biasa menjadi pusat kegiatan masyarakat desa.Biasanya orang Nias menyebut rumah mereka dengan sebutan homo hada.Bentuk dan ukuran rumah semua dibuat sama, dengan bahan kayu hutan asli, serta atap rumbia.
Di tengah-tengah kampung berdiri rumah dari raja kampung yang disebut dengan Homo Sebua. Homo Sebua memiliki pondasi yang terbuat dari batang-batang pohon berukuran besar yang disusun saling bersilangan. Konon knstruksi bangunan ini tahan dari goncangan gempa bumi. Padahal dalam menyusun kayu pondasi, orang Nias tidak menggunakan paku.
Bentuk dan ukurannya berbeda dengan rumah-rumah lain di desa.
Pada dinding Homo Sebua tedapat hiasan berupa ukiran-ukiran khas budaya Nias. Jumlah ukiran pada Homo Sebua jumlahnya lebih banyak dari jumlah ukiran dari Homo Hada.
Penduduk Nias memeng terkenal sebagai pengrajin kayu handal. Sejak muda mereka terampil membuta ukiran dinding atau patung kayu. Bila ada turis yang datang, mereka menjajakan kerajinan tangan mereka sebagai souvenir.
Seusai mandi, penduduk lalu berhias untuk melakukan upacara tari perang. Tari perang yang biasa disebut tarian Faluaya merupakan salah satu kebudayaan khas Nias yang telah terkenal ke manca negara.
Bagi warga Nias, tarian Faluaya merupakan sebuah penghormatan kepada para leluhur mereka, yang dengan gagah berani mempertahankan tanah Nias dari serangan penajajah.
Warga menggunakan pakaian warna warni, mereka berkumpul di depan Homo Sebua atau rumah Raja.
Para pria yang berperan sebagai kesatria berdandan lengkap dengan pakaian perang. Tubuh mereka dihiasi berbagai atribut, menambah kesan seram yang akan membuat takut lawan mereka. Tangan kanan mereka memegang tombak atau parang yang menjadi senjata utama yang di gunakan ksatria Nias. Sementara tangan kirinya memegang perisai untuk menangkis serangan musuh.
Dibawah komandoi seorang kapiten atau komandan, ratusan warga menyusun formasi memulau tari Faluaya. Gerakan tari Faluaya sangat dinamis. Hentakan kaki diiringi lagu perang penuh semangat. Mereka terus menari sambil mengayun parang serta tombak.
Tarian dimulai dengan gerakan maju mundur sambil meneriakan yel-yel. Tujuannya untuk memancing agar maju menyerang. Kemudian dilanjutkan dengan membentuk formasi melingkar untuk mengepungf musuh yang telah terpancing maju. Setelah musuh masuk terkepung maka kesatria-kesatria Nias ini pun dengan mudah melumpuhkan musuh mereka.
Kebudayaan Nias merupakan perhiasan yang indah sebagaimana indahnya alam disana. Taruan Faluaya serta lompat batunya mencerminkan jiwa heroikmasyarakat suku Nias.
Selain mengunjungi desa kesatria Nias di Baweu Mate Luwo, Kami lalu menuju Gomo, letaknya hampir 3 jam berkendara dari Teluk Dalam. Setibanya di desa Tundrumbaho, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Lokasi yang kami tuju adalah tanah lapang tempat terhamparnya berbagai menhir dan berbagai bentuk patung batu peninggalan masa lalu. Behu yang merupakan monumen yang melambangkan laki-laki, serta Ni'ogadi merupakan lambang perempuan.
Selain itu masih ada berbagai bentuk perlengkapan rumah yang terbuat dari batu.
Situs megalitik Gomo merupakan kumpulan peninggalan zaman batu yang menceritakan kisah asal usul suku Nias. Usianya yang mencapai ratusan tahun membuktikan budaya Nias telah eksis sejak dahulu kala.
Prasasti batu yang ditemukan di sekitar lokasi membuktikan kebudayaan Nias dahulu kala telah mengenal tulisan.
Selain kampung kesataria, situs megalitik, kita juga bisa mengunjungi pantai sorganya peselancar. Kebanyakan peselancar adalah turis asing. Setiap tahunnya di pantai Lagundri ini diselenggarakan kejuaraan selancar Internasional yang menghadirkan peselancar kelas satu dari berbagai negara.
0 komentar:
Posting Komentar