Selasa, 21 Mei 2013

Mengapa Orang Kristen Beribadah Pada Hari Minggu dan Bukan Hari Sabat..?

Tuhan+atas+sabat.jpg


Dalam Perjanjian Lama diajarkan ritual Sabat, yaitu perhentian pada hari ketujuh (Sabtu) dari semua pekerjaan. Namun adat-istiadat Yahudi lama kelamaan tidak lagi mengerti hakekat Sabat yang memberi kelegaan/istirahat tetapi kemudian menjadikan Sabat sebagai syariat yang memberatkan umat. 

Yesus datang menjadi Tuhan atas Sabat dan untuk menggenapkan hari kelegaan/perhentian yang sebenarnya.

Sejak PL, Sabat sebagai hukum keempat (Kel. 20:11) terus dijalankan secara ketat oleh orang Yahudi, bukan sekedar sebagai peringatan tentang hari tertentu dimana seseorang mengalami istirahat/perhentian setelah seminggu bekerja, namun dalam ibadat kemudian hal ini menjadi ritual syariat yang membatasi dan membebani kehidupan manusia.
Demi Sabat orang tidak boleh berjalan jauh sekalipun itu untuk tugas mulia, dan demi Sabat seseorang tidak mungkin menolong ternaknya yang terperosok di jurang kalau jaraknya melebihi syariat Taurat yang sudah digariskan.
 
Intinya, Sabat berbeda dari artinya semula sebagai hari yang membebaskan, sekarang berubah menjadi hari yang membelenggu umat.

Sejak ketika Yesus mulai melayani, Ia masih beribadah di hari Sabat (Luk. 4:16,31), tetapi bukan sepenuhnya sebagai pengikut ritual tetapi karena itu adalah hari dimana Ia bisa bertemu umat yang berkumpul di rumah ibadat. Selanjutnya pandangannya mengenai hari Sabat mulai berubah, Ia  menjelaskan bahwa Daud melanggar syariat Sabat lahiriah demi pembebasan kehidupan riil kepada para pengikutnya (Luk. 6:4-5). 
Bahkan Yesus sering menyembuhkan orang dihari Sabat dan melanggar Sabat, suatu yang dipersalahkan dalam ibadat hukum Taurat (Luk. 6:6-11;13:14). 
Dalam konteks ini Yesus berkata kepada mereka yang menentangnya:

"Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk. 2:27-28).
Ada juga yang mensalah-tafsirkan ayat itu seakan-akan Yesus menunjukkan perintah untuk memelihara Sabat, padahal konteks ayat itu menjelaskan hal yang sebaliknya, yaitu membantah pengertian orang Farisi mengenai bagaimana memelihara Sabat! 

Inti Sabat sebenarnya adalah satu hari yang mendatangkan damai sejahtera dan kelegaan kepada manusia setelah seseorang mengalami beban pekerjaan selama 6 hari lamanya. 
Yesus mengatakan kepada mereka yang lelah dan menanggung beratnya kehidupan kerja disekelilingnya:

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28).

Kata ‘kelegaan’ adalah terjemahan kata yunani ‘katapausis’ yang sebenarnya merupakan terjemahan kata Ibrani ‘Sabat’ (Kel. 20:11) dalam Septuaginta (terjemahan Yunani dari Tanakh Ibrani).

Sikap Yesus terhadap hari Sabat secara konsekuen dinyatakan dengan kebangkitannya bukan pada hari Sabat hari ketujuh tetapi ‘pada hari pertama dalam minggu’ (Mat. 28:1). 
Ini menarik karena kemenangannya atas maut dan ke’tuhan’annya tidak dinyatakan pada hari ‘Sabat Sabtu’ tetapi pada ‘hari Minggu’ karena Ia telah mendatangkan Sabat Yobel bagi manusia.

Kita mengetahui bahwa dalam tradisi Israel. setelah 7 kali 7 tahun (= 49 tahun), maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Yobel dimana terjadi pembebasan total bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan.
dalam hitungan hari, setelah 7 kali 7 hari (=49 hari), hari Pentakosta (= hari ke-50) biasanya dirayakan juga (Imamat 23:15-21; Ulangan 16:19-11) 
hari ke-50 adalah hari minggu, satu hari setelah sabtu sabat hari ke-7

Demikian juga pada hari kebangkitannya itu, Yesus mendatangi para murid yang berkumpul dan menghadirkan “damai sejahtera dan sukacita” (Yoh. 20:19-23). 
Seminggu kemudian pada hari minggu berikutnya ketika para murid kembali berkumpul, para murid mengatakan kepada Thomas bahwa: “kami melihat Tuhan” dan ketika Thomas sendiri melihatnya keluarlah pengakuan “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:24-29), pengakuan jemaat awal yang menegaskan bahwa ‘Yesus adalah Tuhan’ yang identik dengan pengakuan kepada Tuhan sendiri (Mzm. 35:23-24). 
Dari sinilah kemudian timbul istilah ‘Hari Tuhan’ (kuriake Hemera) untuk menyebut hari pertama dalam minggu dimana Yesus menyatakan diri sepenuhnya sebagai ‘Tuhan’. RasulYohanes melihat penglihatan pada ‘hari Tuhan’ (Why. 1:10) dan ‘hari Tuhan’ juga akan menunjukkan hari kedatangan-Nya yang kedua kali kelak untuk menghakimi manusia (Kis. 2:20; 2 Ptr. 3:10).   
Istilah ‘hari Tuhan’ dalam PB ditujukan kepada  Tuhan Yesus

Menarik untuk diketahui bahwa setelah ‘bangkit pada hari minggu’ Yesus menyatakan diri pada para murid pada ‘hari minggu’ berikutnya dimana mereka berkumpul mengenang hari kebangkitan Yesus untuk makan roti dan doa (band. Kis. 20:7). 
Yesus tidak menyatakan diri pada hari Sabat sabtu kepada orang-orang Yahudi, melainkan pada hari Minggu kepada para murid-Nya
Demikian juga pada hari minggu mengenang kebangkitan-Nya ia mengaruniakan ‘Roh Kudus’ kepada murid-murid-Nya (Yoh. 20:22), dan Roh Kudus dicurahkan kepada umat manusia pada ‘hari Minggu’ yaitu pada hari ‘Pentakosta’ (hari ke-50 setelah Sabat Paskah). 
Hari Pentakosta dianggap sebagai kelahiran gereja Kristen
Gereja Kristen lahir pada hari Minggu, hari mengenang kebangkitan Yesus yang menandakan kemenangannya atas dosa dan maut.

Semua ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus Kristus memang menghendaki kita menjadikan ‘hari Minggu’ sebagai ‘hari Tuhan’ dimana kita menjalankan Sabat, bukan dalam pengertian Sabat Yahudi yang berupa ritual yang memberatkan umat, namun dalam pengertian ‘Tahun Rahmat Tuhan’, Sabat Akbar (Yobel) yang membebaskan umat manusia dari segala penderitaan mereka.

Perlu disadari bahwa hari Minggu bukanlah hari Sabat dalam pengertian ritual tradisi Yahudi, dan sekalipun para murid kemudian masih menghadiri perayaan hari Sabat di Bait Allah / Sinagoga, mereka melihat Sabat sebagai menunjuk Yesus yang menjadi Sabat bagi manusia. 
Kemudian, para murid berangsur-angsur meninggalkan pertemuan Sabat di rumah ibadat Yahudi dan berkumpul memecahkan roti di hari minggu di rumah-rumah mereka (Kis. 20:7; 1 Kor. 16:2). 
Persekutuan demikianlah yang kemudian menjadi hari persekutuan rutin bagi para murid Yesus.

Semula para murid Yesus yang berasal dari bangsa Yahudi masih melakukan pertemuan di hari Sabat sebagai bagian dari tradisi sosial-budaya Yahudi mereka, namun karena Sabat adalah khas terkait dengan perjanjian kepada Musa yang berkaitan dengan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan tidak ada dalam perjanjian kepada Nuh untuk umat manusia, maka karena Sabat ditujukan kepada umat Israel, umat Kristen yang berasal dari orang asing umumnya tidak ikut merayakan Sabat, apalagi di rumah-rumah ibadat Yahudi (sinagoge).

Karena perkembangan kekristenan yang cukup pesat dan dianggap menjadi duri dalam agama Yahudi, kemudian ada peraturan yang dikeluarkan pimpinan agama Yahudi tentang Birkat Ha-Minim (doa melawan penyesat), yang melarang semua pengikut Kristus berada di Bait Allah / Sinagoge pada hari Sabatperaturan ini menyebabkan umat Kristen yang orang Yahudi kemudian berkumpul di rumah-rumah di hari minggu karena mereka sekarang dilarang merayakan Sabat di hari sabtu di Sinagoge.

Bapa-Bapa gereja sesudah rasul Yohanes meninggal (akhir abad pertama) juga menguatkan bahwa perkumpulan di hari minggu sudah dipraktekkan secara luas di kalangan Kristen
Kita sudah melihat bahwa umat Kristen menyebut hari minggu sebagai ‘hari Tuhan’ (kuriake hemera, Why. 1:10), sebagai hari ‘Tuhan Yesus’, yang bangkit pada hari pertama dalam minggu.

Memang ada yang menafsirkan bahwa ‘hari Tuhan’ itu bukan menunjuk pada hari minggu tetapi menunjuk pada ‘hari penghakiman Tuhan terakhir,’ namun dari konteks Wahyu 1:10, terlihat bahwa hari dimana Yohanes menerima wahyu itu disebut ‘kuriake hemera,’ padahal biasanya dalam LXX, untuk menunjuk kepada ‘hari Tuhan’ yang maksudnya sebagai hari penghakiman terakhir, LXX menggunakan istilah berbeda, yaitu ‘he hemera tou kyriou.’ Hari Tuhan, selagi mencakup nafas perhentian Sabat yang lama sekaligus mengungkapkan pembaharuan dalam Roh Kudus, dan bukannya dalam huruf-huruf yang lama (Rom. 7:6).

Hari Minggu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti ‘Tuhan,’ yang kemudian dijadikan kosa kata Indonesia menjadi hari ‘Minggu.’

Dalam Didache 14 (kitab pengajaran Ke-12 Rasul yang berasal dari abad awal) dengan eksplisit disebutkan bahwa ‘kuriake hemera’ adalah hari minggu. Ignatius (115 M, Epistle to the Magnesian) mengatakan:
"Jangan kita memelihara lagi hari Sabat, melainkan merayakan Hari Yesus Kristus, pada hari mana hidup kita bangkit dari kematian oleh Dia.”

Justinus Martir (165 M) mengatakan bahwa:
"pada hari pertama itu dengan mengubah gelap menjadi terang Tuhan menjadikan dunia, dan karena Yesus Kristus, Juru-selamat kita, pada hari itupun, yaitu hari pertama dalam pekan, bangkit dari mati dan menampakkan diri kepada murid-murid-Nya.”

Melito, uskup Sardis (190 M) menulis thesisnya berjudul ‘Hari Tuhan’ yang maksudnya ‘hari Minggu.’ Sedangkan bapa gereja lainnya, yaitu Tertulianus(200 M) mengatakan bahwa:
"hari Tuhan, yaitu hari kebangkitannya, kita bukan hanya meninggalkan kebiasaan berlutut, tetapi juga menanggalkan segala kesusahan dan segala yang menindas kita serta bangkit bekerja.”

Demikian juga Clemens dari Alexandria (220 M) mengatakan bahwa:
"hari pertama dari tiap-tiap pekan telah menjadi hari perhentian, karena kebangkitan (Tuhan Yesus) dari kematian.”  

Dari data-data di atas kita dapat melihat bahwa kebiasaan berkumpul pada hari Minggu oleh umat Kristen di rumah-rumah menggantikan berkumpul di hari Sabat Sabtu Yahudi di rumah ibadat, disamping jemaat di Israel sejak hari kebangkitan Tuhan Yesus dan Kisah Para Rasul, ternyata sudah menjadi praktek jemaat kristen sejak abad pertama baik di Afrika Utara, Eropah maupun Asia Kecil, jauh sebelum kekaisaran Konstantin pada abad ke-4 meresmikan hari minggu dengan mengeluarkan edik sebagai hari istirahat negara dan didukung oleh Paus.

Mendukung kenyataan yang telah berjalan tiga abad lamanya itu, pada tahun 321 M, kaisar Konstantin mengeluarkan edik yang menentukan hari minggu sebagai hari istirahat negara dan meliburkan/menutup gedung-gedung pemerintahan pada hari itu, sehingga para pegawai dapat pemerintah dapat mengalami kelegaan setelah enam hari bekerja keras. 
Edik ini bukan merupakan produk ketentuan yang baru lahir, melainkan meresmikan kebiasaan yang sudah berjalan tiga abad lamanya.

Pengertiannya yang dikandung dalam edik di sini adalah bahwa masyarakat harus berhenti/libur dari pekerjaan sehari-hari dan menghadiri pertemuan ibadat di hari minggu. 
Hari minggu tidak pernah dianggap sebagai hari Sabat (seperti dimengerti dalam agama Yahudi). 
Baik Roma Katolik, Orthodox, tidak menganggap ibadat hari Minggu sebagai penerusan Sabat Yahudi.

Para reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin juga menekankan hari Minggu sebagai hari istirahat dan hari berbakti bagi umat Kristen, tetapi mereka juga menolak mengkaitkan hari Minggu dengan hari Sabat Yahudi.

Hari Minggu memang menggantikan Sabat sebagai hari istirahat dan berkumpulnya jemaat, tetapi bedanya Sabat sabtu berfungsi sebagai perbuatan baik dalam ritual Taurat yang kalau dilanggar adalah dosa, sedangkan hari Minggu adalah hari berkumpul bagi umat Kristen yang dengan sukacita merayakan hari kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa dan maut dan telah memerdekakan mereka dari perhambaan kerja.

0 komentar:

Posting Komentar