Proses
sosialisasi mengantarkan kita pada bentuk-bentuk sosialisasi yang ada
dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat.Bentuk-bentuk sosialisasi
yang ada itu antara lain adalah sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after chilhood), pendidikan sepanjang hidup (life long education), dan pendidikan berkesinambungan (continuing education). Selain itu, dalam kehidupan manusia juga dikenal dengan adanya beberapa bentuk sosialisasi, diantaranya adalah :
1. Sosialisasi primer
merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, dimana ia menjadi anggota masyarakat.
2. Sosialisasi sekunder
merupakan
proses setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu yang
telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat.
Ada beberapa macam sosialisasi sekunder, antara lain :
a. Desosialisasi dan resosialisasi
Merupakan
proses sosialisasi dimana seorang individu mengalami pencabutan diri
yang dimilikinya, yang kemudian seseorang tersebut diberi suatu diri
yang baru. Hal ini erat kaitannya dengan :
§ Institusi total (total institutions).
Goffman
mengatakan bahwa institusi total merupakan suatu tempat tinggal dan
bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus
dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu,
bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal.
Contoh yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah rumah sakit
jiwa (RSJ), lembaga pemasyarakatan (LP) dan sekolah kemiliteran. Setiap
individu yang masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut akan mengalami
pencabutan diri dari yang dimilikinya dan akan mendapat diri yang baru.
Namun perbedaannya adalah apabila di masuk RSJ dan LP itu bukan berdasar
pada kerelaan dan apabila keluar akan tetap mendapat stigma dari
masyarakat atau lingkungannya. Sedangkan di sekolah kemiliteran (AKMIL,
AAU, AAL, AKPOL), individu yang masuk kesana adalah berdasar faktor
kerelaan dan menjalani pembinaan profesi untuk tujuan khusus, dan
apabila keluar maka akan memiliki kebanggaan tersendiri sebagai mantan
warga dari lembaga pendidikan tersebut.
§ Cuci otak (brainwashing).
Proses
sosialisasi model ini biasanya menggunakan praktek penekanan baik fisik
dan psikologis, yang kemudian pada akhirnya individu ini menaati segala
perintah yang ditujukan kepadanya. Teknik yang digunakan dapat berupa
teknik pengendalian terhadap pemikiran dan tindakan seperti isolasi,
ancaman, siksaan, pembatasan tidur atau makanan para tahanan yang
diarahkan untuk membuat pengakuan palsu, mengkritik diri mereka sendiri
dan ikut serta dalam kegiatan propaganda musuh. Hal ini bisa dialami
oleh para tahanan perang dan anggota dari kelompok teroris.
b. Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization)
merupakan
suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk
peran baru. Contoh yang ada dalam kehidupan bermasyarakat antara lain
adalah menjelang saat kita beralih pendidikan menuju jenjang yang lebih
tinggi (dari SMA ke Perguruan Tinggi), saat sekolah menuju dunia kerja,
saat dunia kerja menuju ke kehidupan pensiun, atau dari seorang bujangan
menjadi istri atau suami. Saat-saat itu adalah saat kita harus
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menyongsong peranan baru.
Namun apabila kita tidak jadi melakukan peran yang sudah kita
persiapkan tersebut maka mau tidak mau kita harus kembali ke peranan
yang sebelumnya.
Di
sisi lain kita juga harus melihat pola-pola sosialisasi yang ada dalam
masyarakat. Menurut Jaeger, terdapat dua macam pola sosialisasi yang ada
yaitu :
a. Sosialisasi represif.
Sosialisasi tipe ini mengedepankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan.
Ciri lain yaitu penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan
imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada
komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah,
penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan keinginan orang
tua, dan peran keluarga adalah sebagai significant other.
b. Sosialisasi partisipatoris.
Merupakan
pola yang didalamnya anak diberi imbalan di kala berperilaku baik,
hukuman dan imbalan bersifat simbolis, anak diberi kebebasan, penekanan
diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat
sosialisasi, keperluan anak dianggap penting, dan keluarga menjadi generalized others.
Pola sosialisasi lain yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock adalah sebagai berikut :
- Otoriter.
Tingkah
laku anak diatur secara kaku dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali
hal-hal yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orang tua tidak mendorong
anaknya untuk mengambil keputusan sendiri tetapi menentukan apa yang
harus dilakukan oleh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman.
Hampir tidak pernah atau bahkan tidak pernah sama sekali anak diberikan
pujian atau tanda-tanda membenarkan tingkah laku anak dalam melakukan
sesuatu. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk
mengemdalikan perbuatannya.
- Demokratis.
Orang
tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan yangemembantu
anak agar mengerti mengapa ia diminta mematuhi suatu aturan. Orang tua
menekankan aspek pendidikan bukan hukuman. Hukuman tidak pernah kasar
dan hanya diberikan apabila si anak dengan sengaja menolak perbuatan
yang harusnya dia lakukan. Apabila anak melakukan perbuatan yang memang
seharusnya ia lakukan mak diberikan pujian. Orang tua yang demokratis
adalah orang tua yang berusaha menumbuhkan kontrol dari dalam anak
sendiri.
- Permisif.
Orang
tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak.Pola
ini ditandai dengan sikap orang tua yang membiarkan anaknya mencari dan
menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan dari tingkah
lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua
bertindak, sehingga pengawasan bersifat longgar.
TAMBAHAN : TOPIK PROSES SOSIALISASI
Pemikiran George Ritzer
Dalam
pembahasan mengenai sosialisasi, George Ritzer juga ikut menyumbangkan
pemikirannya. Hal ini dimulai ketika Ritzer melihat pada tahapan siklus
kehidupan manusia, dimana dia membaginya menjadi empat tahap yaitu :
1. Masa kanak-kanak
Kewajiban
orang tua pada masa ini adalah untuk membentuk kepribadian
anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua pada anak di awal masa
pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak tersebut. Dengan kata
lain, orang tua menjadi role model bagi anak-anaknya. Proses sosialisasi pada tahap ini digambarkan melalui kerangka AGIL (Adaptation - Goal Attainment – Integration – Latent Pattern Maintenance)
yang diperkenalkan oleh Talcott Parson dalam menganalisis
tindakan-tindakan sosial. Dalam konsep ini, terbagi dalam tahap-tahap
yang bersifat berkesinambungan. Fase-fase tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Fase Laten
Dalam
fase ini proses sosialisasi yang berlangsung belum terlihat nyata.
Pengenalan anak terhadap diri sendiri tidak jelas dan anak belum
merupakan satu kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat
melakukan kontak sosial dengan lingkungannya. Di lain pihak, lingkungan
pun belum melihat anak sebagai individu yang berdiri sendiri dan yang
dapat mengadakan interaksi dengan mereka. Dalam tahap pertama ini,
misalnya anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase
ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut ” two persons system”.
b. Fase Adaptasi
Dalam
fase ini anak mulai mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosialnya. Reaksi-reaksinya sekarang tidak lagi terdorong oleh
rangsangan-rangsangan dari dari dirinya semata, tetapi ia mulai belajar
bagaimana caranya bereaksi terhadap rangsangan yang datamh dari luar
dirinya. Pada fase inilah peranana orang tua terlihat sangat dominan,
karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbimngan
dari orang tuanya. Hukuman dan penghargaan dari orang tuanya akan sangat
berpengaruh dalam tindakan yang mereka ambil. Tingkah laku yang
mendapat penghargaan berarti tingkah laku yang diterima lingkungan
sedangkan yang mendapat hukuman berarti merupakan tingkah laku yang
tidak dikehendaki. Sifat hukuman dan penghargaan ini seharusnya
diberlakukan secara tepat, jika tidak maka akan menghambat proses
sosialisasi itu sendiri.
c. Fase Pencapaian Tujuan
Tingkah
laku anak yang sudah mencapai fase ini dalam proses sosialisasinya
tidak lagi hanya menyesuaikan diri, tetapi lebih terarah untuk maksud
dan tujuan tertentu. Ia cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk
mendapatkan penghargaan dari orang tua, dan tingkah laku yang
menimbulkan reaksi negatif dari orang tua berusaha ia hindari.
d. Fase Integrasi
Dalam
fase ini, tingkah laku anak tidak lagi hanya penyesuaian (adaptasi)
ataupun untuk mendapatkan penghargaan dari orang tuanya (tujuan) namun
sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri yang memang ingin dilakukannya
(terintegrasi dalam dirinya sendiri). Norma dan nilai yang ditanamkan
orang tuanya sudah menjadi diri anak atau kata hati dari anak, bukan
lagi merupakan suatu hal yang berada di luar diri anak. Contoh yang
dapat diamati yaitu kebiasaan untuk bangun pagi pada anak-anak sebelum
berangkat ke sekolah. Anak akan terbiasa bangun pagi bukan karena
paksaan dari orang tuanya atau hanya ingin mendapatkan pujian dan
penghargaan dari orang tuanya namun dengan bangun pagi maka akan lebih
banyak waktu bagi si anak untuk mempersiapkan sekolahnya dengan tidak
terburu-buru dan yang lebih penting lagi adalah tidak terlambat masuk
sekolah. Lebih daripada itu semua adalah bahwa kesemuanya itu merupakan
kebutuhan si anak.
2. Masa remaja
Masa
remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periose yang
dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan
untuk tingkat menengah. Perubahan biologis yang membawanya ke usia
belasan (teenagers) seringkali memengaruhi perilaku masa remaja.
Pada masyarakat pedesaan terkadang perlu untuk memperpanjang masa
remaja. Hal ini biasanya terjadi pada kaum lelakinya. Perkawinan yang
terlalu dini dianggap tidak bijaksana, karena akan menyebabkan lahan
pertanian keluarga menjadi lebih sempit karena harus dibagikan kepada
keluarga baru. Strategi yang dilakukan biasanya adalah dengan menunda
perkawinan sampai pada batas usia 20 atau 30 tahun. Para pemuda ini
kemudian bekerja di pertanian orang tuanya dan diperlakukan seperti anak
kecil (boys) sampai mereka cukup dewasa untuk memasuki usia perkawinan.
Dalam
sosialisasi terhadap remaja ada suatu gejala yang disebut ”reverse
socialization”. Hal ini mengacu pada cara dimana orang yang lebih muda
dapat menggunakan pengaruh mereka kepada orang yang lebih tua. Mengubah
pandangan, cara berpakaian, bahkan nilai-nlai mereka. Reverse
socialization dapat dideskripsikan sebagai suatu hal dimana orang yang
seharusnya disosialisasikan justru mensosialisasikan. Mead mengatakan
bahwa sosialisasi ini banyak terjadi pada masyarakat yang mengalami
perubahan sosial dengan cepat. Agen sosialisasi berubah ketika seseorang
menginjak masa remaja. Dimana sosialisasi dilakukan oleh peer group
menjadi sangat bahkan lebih penting. Dan dalam sosialisasi oleh peer
group ini, sekolah turut berperan karena anak-anak dan remaja melewatkan
sebagian besar waktunya di sekolah. Dan sekolah memberikan peluang
kepada remaja untuk dapat bergaul dengan teman sebaya dan mempersiapkan
anak muda supaya dapat hidup dan bertahan dalam masyarakat.
3. Masa dewasa
Ada
tiga hal yang diharapkan terjadi pada masa ini yaitu bekerja, menikah
dan memiliki anak. Dalam masa ini orang dewasa akan mengalami
sosialisasi yang sifatnya lebih intensif, dan belum tentu sama dengan
nilai dan norma yang telah diperolehnya pada masa sebelumnya. Dalam
setiap lingkungan, orang dewasa harus bersikap sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada. Dalam hal ini memerlukan kesiapan yang lebih agar
dapat menjalani proses sosialisasi dengan baik.
a. Sosialisasi dalam dunia kerja.
Individu
dewasa mulai beradaptasi dengan waktu kerja, dengan jenis pekerjaan,
disiplin kerja, dan aturan-aturan kerja agar ia dapat diterima dalam
lingkungan pekerjaan dan bertahan.
b. Sosialisasi dalam perkawinan.
Dalam
perkawinan pun setiap individu harus melewati proses belajar mengenal
masing-masing pasangannya, mereka harus belajar untuk mengatasi masalah
dua orangyang berbeda nilai dan orientasinya. Proses belajar dalam tahap
ini sebetulnya bukan saja diperoleh ketika individu itu menikah, tapi
juga bisa diperoleh ketika remaja, melalui pesan-pesan yang disampaikan
oleh orang tuanya, seperti ” Bila kamu menikah nanti...” dan seterusnya.
Selain orang tua, ada banyak pihak yang berpengaruh dalam sosialisasi
tahap ini.
c. Sosilisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya.
Ketika
individu dewasa mempunyai anak pun tetap mengalami proses belajar
bagaimana peranan mereka menjadi orang tua dalam membesarkan dan merawat
anak-anaknya. Agen sosialisasi dalam proses ini bisa orang tuanya
sendiri atau teman sebayanya atau yang lainnya.
4. Masa tua dan menuju kematian
Seseorang
belajar untuk menjadi orang usia lanjut seperti seseorang belajar untuk
menjadi remaja. Menurut Eitzen, orang lanjut usia merupakan transisi
dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang
mencapai usia lanjut mereka harus belajar bergantung kepada orang lain,
belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar
untuk waktu-waktu santai.
Ketika
seseorang berada pada usia lanjut, mereka diperlakukan seperti anak
kecil, sampai akhirnya seorang individu yang sangat tua diperlakukan
sebagai non person. Proses sosialisasi bagi orang lanjut usia
dimulai secara perlahan-lahan. Biasanya mereka akan mulai menyadari
bahwa mereka harus mengurangi jam kerja dan melakukan kegiatan santai.
Orang lanjut usia juga harusbelajar bergantung pada orang lain setelah
bertahun-tahun lamanya hidup mandiri bahkan menghidupi anak-anak mereka.
Anak-anak mereka sebenarnya sering membantu tetapi dengan hal tersebut
malah membuat para lansia merasa diperlakukan seperti anak kecil.
Belajar menjadi lansia adalah
sulit. Orang berusia lanjut harus menerima kenyataan bahwa mereka telah
menjadi tua. Keyakinan ini tidak mengizinkan orang tua untuk melakukan
berbagai kegiatan terutama kegiatan yang dinilai tinggi oleh usia lain
dalam masyarakat. Misalnya, orang lanjut usia tidak diterimauntuk atif
secara seksual, tidak tertarik pada sekstau tidak mampu lagi dalm
kegiatan seksual. Topik-topik ini selalu diperbincangkan secara humor
oleh orang-orang yang berusia lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa diri
mereka telah terisolasi dan terinternalisasi norma-norma dan nilai-nilai
baru.
Tahap
yang paling akhir dalam siklus kehidupan manusia adalah kematian.
Sistem sosial memiliki mekanisme untuk mempersiapkan orang menuju
kematiannya. Proses sosialisasi menuju kematian biasanya secara tidak
sadar dialami oleh seseorang, seperti menghadiri pemakaman, karena apa
yang terjadi di pemakaman sedikit banyak memberikan nilai-nilai baru
yang akan menjadi bagian dari diri seseorang.
Sumber :http://najihulhimam-pendidikantanpabatas.blogspot.com/2011/12/bentuk-bentuk-sosialisasi.html
0 komentar:
Posting Komentar