Selasa, 21 Mei 2013

Belajar Berbuat Baik

 


          Ketika melewati daerah kumuh, lelaki muda itu terkejut melihat pemandangan yang menyedihkan sehingga ia menghentikan mobilnya. Seorang lelaki tua sedang mencabuti rumput kering, memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya.

           Ia turun dari mobil mendekati lelaki itu dan bertanya,
           "Pak, mengapa makan rumput?"
           "Saya tak punya uang untuk membeli nasi."
           "Apakah perut Bapak tidak sakit?"
           "Pertama kami sakit, tapi lama kelamaan tidak lagi."
           "Mari ikut ke rumah saya. Tidak jauh dari sini. Ada makanan yang lebih baik di sana."
            Pak tua itu tercengang. Kemudian dia bertanya, "Apakah boleh istri dan anak-anak saya ikut?"
            “Boleh, boleh, ajak mereka semua.”

            Pak Tua berteriak ke arah sebuah gubuk kecil. Muncul istri dan 3 orang anaknya.
            "Ayo Pak, masuk ke mobil saya," lelaki muda itu mempersilakan mereka masuk ke mobilnya.

            Di dalam mobil Pak Tua tak dapat menahan air matanya. Dengan terbata-bata menahan suara tangisnya ia berkata, "Nak, engkau sangat baik. Bagi saya dan keluarga, engkau utusan Tuhan. Katakanlah Nak, mengapa engkau mau berbuat baik kepada saya sedangkan kenal saja tidak?"

            Mobil berhenti di depan pagar sebuah rumah mungil. Halamannya luas. Jawab orang muda itu, "Pak Tua, dalam hidup ini kita harus saling tolong menolong. Saya hidup sendiri di rumah ini. Karena sibuk bekerja di kantor, sudah hampir sebulan saya tak sempat memotong rumput di halaman. Lihatlah, sekarang sudah tinggi, tetapi masih hijau dan segar. Lebih bagus daripada yang Bapak makan tadi."

            Lelaki tua ini kembali menangis. Kali ini keras suara tangisnya, bahkan sangat keras.

                                      --- o ---

            Ketika saya mengunggah cerita ini di pesbuk, komen yang masuk bernada protes. Mungkin saja kalau mereka kenal saya dan bertemu di dunia nyata, mereka akan meludahi muka saya.

           Keterlaluan! Ini penghinaan kepada kaum marginal! Pelecehan terhadap penderitaan sesama manusia! Menginjak-injak harga diri orang tak punya! Kalau tak mampu menolong, tak usah menolong!

          Memang ada yang salah? Kalau ada yang protes, pasti ada yang salah. Salahnya adalah pembaca kisah ini berharap bertemu happy-ending, akhir seperti yang sudah terbentuk dalam benaknya, akhir cerita yang membuat mata mereka berkaca-kaca sehingga bisa berucap “Haleluya, puji Tuhan!” Karena itu mereka marah ketika di akhir cerita harapan mereka diluluh-lantakkan.

         Cobalah simak kembali cerita itu dari awal. Apakah orang muda itu tidak menolong Pak Tua? Dia telah menyediakan makanan yang lebih baik berupa rumput segar yang pasti lebih lunak daripada rumput kering. Bukankah ‘memberi yang lebih baik’ juga terjadi dalam kehidupan nyata? Dulu dia gelandangan, tidur di emper toko, sehari makan satu kali saja. Lalu saya ambil dia jadi pembantu, tidur di gudang yang lebih baik daripada tidur di emperan, makan 3 kali dengan menu nasi putih + kecap + krupuk yang jauh lebih baik daripada yang dia makan dulu. Apa saya bersalah bila tidak memberinya uang sebagai gaji? Bila saya disalahkan, saya hanya bisa menyodorkan 2 pilihan kepada orang itu: tetap berada di rumah saya tanpa gaji atau meninggalkan rumah saya dan menjalani hidup yang lalu. Anda mungkin saja tetap menuntut saya memberinya gaji yang tidak mampu saya berikan. Kalau dia harus keluar dari rumah saya, Anda menuntut saya memberinya uang pesangon.

        Karena tuntutan seperti inilah maka orang lebih suka TIDAK memberikan pertolongan apabila tidak mampu memenuhi SELURUH kebutuhan orang yang ditolongnya. Mereka lebih suka berdoa meminta Tuhan mengutus orang lain menjadi penolongnya. Jika kemudian orang ini meninggal karena tak ada orang yang menolongnya, kita juga tak perlu merasa bersalah karena segala sesuatu terjadi atas perkenan Tuhan bukan?

        Pernah saya mengunjungi seorang janda tua yang tinggal di rumah penampungan milik sebuah gereja. Setiap orang mendapat satu kamar. Setiap bulan gereja memberinya uang 100 rb sebagai bantuan makan sehari-hari. Mereka yang ditampung di sini adalah yang masih punya anak tetapi tidak merasa nyaman hidup dalam rumah anaknya. Saya membuka beberapa panci kecil yang ada dekat tempat tidurnya. Satu panci berisi sayur kol. Saya melihat tepi helai kol itu berwarna hitam.

      “Berapa harga kol ini, Bu?” tanya saya.
      “Itu tidak bayar. Dua hari sekali saya ke pasar mencari sayur yang dibuang oleh pedagang sayur. Ada yang kasihan. Lalu dia bilang akan mengumpulkan sayur yang tidak dipakai untuk saya sehingga saya tidak perlu mencarinya di keranjang sampah. Teman-teman juga boleh mengambilnya.”

        Apakah kita bisa mengatakan pedagang ini keterlaluan karena hanya memberi kol apkiran kepada janda-janda miskin ini? Apakah dia harus menyediakan daging sapi? Mau memberi banyak ataupun sedikit, bukankah yang penting sudah memberi? Bila seseorang yang punya kemampuan memberi 1 ton tetapi baru mau memberi 1 ons saja, tak perlu kita melecehkannya karena dia baru belajar memberi.

       Mari melihat diri sendiri untuk menyelidiki apakah kita juga sudah belajar memberi. Tak perlu malu dan peduli apa kata orang bila kita baru bisa memberi sedikit. Kalau kita punya tetangga yang hidup di rumah karton dan melihat mereka mencuci pakaian tanpa sabun, tawarilah dia apakah mau memakai air sabun sisa kita mencuci pakaian tadi pagi. Kalau sisa air sabun itu belum menghitam, sayang bila dibuang begitu saja bukan?

        Kumpulkan kaleng, botol bekas dan pakaian bekas. Masukkan ke dalam karton bekas mi instan. Berikan kepada tukang sampah atau pemulung yang lewat depan rumah kita. Mari, kita belajar memberi.

 Sumber : http://www.sabdaspace.org/

0 komentar:

Posting Komentar