Senin, 16 September 2013

Bentuk-Bentuk Sosialisasi

Proses sosialisasi mengantarkan kita pada bentuk-bentuk sosialisasi yang ada dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat.Bentuk-bentuk sosialisasi yang ada itu antara lain adalah sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after chilhood), pendidikan sepanjang hidup (life long education), dan pendidikan berkesinambungan (continuing education). Selain itu, dalam kehidupan manusia juga dikenal dengan adanya beberapa bentuk sosialisasi, diantaranya adalah :
1.      Sosialisasi primer
merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, dimana ia menjadi anggota masyarakat.
2.      Sosialisasi sekunder
merupakan proses setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakat. Ada beberapa macam sosialisasi sekunder, antara lain :
a.       Desosialisasi dan resosialisasi
Merupakan proses sosialisasi dimana seorang individu mengalami pencabutan diri yang dimilikinya, yang kemudian seseorang tersebut diberi suatu diri yang baru. Hal ini erat kaitannya dengan :
§  Institusi total (total institutions).
Goffman mengatakan bahwa institusi total merupakan suatu tempat tinggal dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal. Contoh yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah rumah sakit jiwa (RSJ), lembaga pemasyarakatan (LP) dan sekolah kemiliteran. Setiap individu yang masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut akan mengalami pencabutan diri dari yang dimilikinya dan akan mendapat diri yang baru. Namun perbedaannya adalah apabila di masuk RSJ dan LP itu bukan berdasar pada kerelaan dan apabila keluar akan tetap mendapat stigma dari masyarakat atau lingkungannya. Sedangkan di sekolah kemiliteran (AKMIL, AAU, AAL, AKPOL), individu yang masuk kesana adalah berdasar faktor kerelaan dan menjalani pembinaan profesi untuk tujuan khusus, dan apabila keluar maka akan memiliki kebanggaan tersendiri sebagai mantan warga dari lembaga pendidikan tersebut.
§  Cuci otak (brainwashing).
Proses sosialisasi model ini biasanya menggunakan praktek penekanan baik fisik dan psikologis, yang kemudian pada akhirnya individu ini menaati segala perintah yang ditujukan kepadanya. Teknik yang digunakan dapat berupa teknik pengendalian terhadap pemikiran dan tindakan seperti isolasi, ancaman, siksaan, pembatasan tidur atau makanan para tahanan yang diarahkan untuk membuat pengakuan palsu, mengkritik diri mereka sendiri dan ikut serta dalam kegiatan propaganda musuh. Hal ini bisa dialami oleh para tahanan perang dan anggota dari kelompok teroris.
b.      Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization)
merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran baru. Contoh yang ada dalam kehidupan bermasyarakat antara lain adalah menjelang saat kita beralih pendidikan menuju jenjang yang lebih tinggi (dari SMA ke Perguruan Tinggi), saat sekolah menuju dunia kerja, saat dunia kerja menuju ke kehidupan pensiun, atau dari seorang bujangan menjadi istri atau suami. Saat-saat itu adalah saat kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menyongsong peranan baru. Namun apabila kita tidak jadi melakukan peran yang sudah kita persiapkan tersebut maka mau tidak mau kita harus kembali ke peranan yang sebelumnya.
Di sisi lain kita juga harus melihat pola-pola sosialisasi yang ada dalam masyarakat. Menurut Jaeger, terdapat dua macam pola sosialisasi yang ada yaitu :
a.       Sosialisasi represif.
Sosialisasi tipe ini mengedepankan pada penggunaan hukuman terhadap  kesalahan. Ciri lain yaitu penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan keinginan orang tua, dan  peran keluarga adalah sebagai significant other.
b.      Sosialisasi partisipatoris.
Merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan di kala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolis, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting, dan keluarga menjadi generalized others.
Pola sosialisasi lain yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock adalah sebagai berikut :
  1. Otoriter.
Tingkah laku anak diatur secara kaku dan tidak ada kebebasan berbuat kecuali hal-hal yang sudah ditetapkan oleh peraturan. Orang tua tidak mendorong anaknya untuk mengambil keputusan sendiri tetapi menentukan apa yang harus dilakukan oleh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Hampir tidak pernah atau bahkan tidak pernah sama sekali anak diberikan pujian atau tanda-tanda membenarkan tingkah laku anak dalam melakukan sesuatu. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengemdalikan perbuatannya.
  1. Demokratis.
Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan-alasan yangemembantu anak agar mengerti mengapa ia diminta mematuhi suatu aturan. Orang tua menekankan aspek pendidikan bukan hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila si anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harusnya dia lakukan. Apabila anak melakukan perbuatan yang memang seharusnya ia lakukan mak diberikan pujian. Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha menumbuhkan kontrol dari dalam anak sendiri.
  1. Permisif.
Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak.Pola ini ditandai dengan sikap orang tua yang membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak, sehingga pengawasan bersifat longgar.
TAMBAHAN  : TOPIK PROSES SOSIALISASI

Pemikiran George Ritzer
Dalam pembahasan mengenai sosialisasi, George Ritzer juga ikut menyumbangkan pemikirannya. Hal ini dimulai ketika Ritzer melihat pada tahapan siklus kehidupan manusia, dimana dia membaginya menjadi empat tahap yaitu :
1.      Masa kanak-kanak
Kewajiban orang tua pada masa ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua pada anak di awal masa pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak tersebut. Dengan kata lain, orang tua menjadi role model bagi anak-anaknya. Proses sosialisasi pada tahap ini digambarkan melalui kerangka AGIL (Adaptation - Goal Attainment – Integration – Latent Pattern Maintenance) yang diperkenalkan oleh Talcott Parson dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial. Dalam konsep ini, terbagi dalam tahap-tahap yang bersifat berkesinambungan. Fase-fase tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Fase Laten
Dalam fase ini proses sosialisasi yang berlangsung belum terlihat nyata. Pengenalan anak terhadap diri sendiri tidak jelas dan anak belum merupakan satu kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak sosial dengan lingkungannya. Di lain pihak, lingkungan pun belum melihat anak sebagai individu yang berdiri sendiri dan yang dapat mengadakan interaksi dengan mereka. Dalam tahap pertama ini, misalnya anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase ini  masih merupakan satu kesatuan yang disebut ” two persons system”.
b.      Fase Adaptasi
Dalam fase ini anak mulai mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Reaksi-reaksinya sekarang tidak lagi terdorong oleh rangsangan-rangsangan dari dari dirinya semata, tetapi ia mulai belajar bagaimana caranya bereaksi terhadap rangsangan yang datamh dari luar dirinya. Pada fase inilah peranana orang tua terlihat sangat dominan, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbimngan dari orang tuanya. Hukuman dan penghargaan dari orang tuanya akan sangat berpengaruh dalam tindakan yang mereka ambil. Tingkah laku yang mendapat penghargaan berarti tingkah laku yang diterima lingkungan sedangkan yang mendapat hukuman berarti merupakan tingkah laku yang tidak dikehendaki. Sifat hukuman dan penghargaan ini seharusnya diberlakukan secara tepat, jika tidak maka akan menghambat proses sosialisasi itu sendiri.
c.       Fase Pencapaian Tujuan
Tingkah laku anak yang sudah mencapai fase ini dalam proses sosialisasinya tidak lagi hanya menyesuaikan diri, tetapi lebih terarah untuk maksud dan tujuan tertentu. Ia cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan penghargaan dari orang tua, dan tingkah laku yang menimbulkan reaksi negatif dari orang tua berusaha ia hindari.
d.      Fase Integrasi
Dalam fase ini, tingkah laku anak tidak lagi hanya penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan dari orang tuanya (tujuan) namun sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri yang memang ingin dilakukannya (terintegrasi dalam dirinya sendiri). Norma dan nilai yang ditanamkan orang tuanya sudah menjadi diri anak atau kata hati dari anak, bukan lagi merupakan suatu hal yang berada di luar diri anak. Contoh yang dapat diamati yaitu kebiasaan untuk bangun pagi pada anak-anak sebelum berangkat ke sekolah. Anak akan terbiasa bangun pagi bukan karena paksaan dari orang tuanya atau hanya ingin mendapatkan pujian dan penghargaan dari orang tuanya namun dengan bangun pagi maka akan lebih banyak waktu bagi si anak untuk mempersiapkan sekolahnya dengan tidak terburu-buru dan yang lebih penting lagi adalah tidak terlambat masuk sekolah. Lebih daripada itu semua adalah bahwa kesemuanya itu merupakan kebutuhan si anak.
2.      Masa remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum merupakan suatu periose yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah. Perubahan biologis yang membawanya ke usia belasan (teenagers) seringkali memengaruhi perilaku masa remaja. Pada masyarakat pedesaan terkadang perlu untuk memperpanjang masa remaja. Hal ini biasanya terjadi pada kaum lelakinya. Perkawinan yang terlalu dini dianggap tidak bijaksana, karena akan menyebabkan lahan pertanian keluarga menjadi lebih sempit karena harus dibagikan kepada keluarga baru. Strategi yang dilakukan biasanya adalah dengan menunda perkawinan sampai pada batas usia 20 atau 30 tahun. Para pemuda ini kemudian bekerja di pertanian orang tuanya dan diperlakukan seperti anak kecil (boys) sampai mereka cukup dewasa untuk memasuki usia perkawinan.
Dalam sosialisasi terhadap remaja ada suatu gejala yang disebut ”reverse socialization”. Hal ini mengacu pada cara dimana orang yang lebih muda dapat menggunakan pengaruh mereka kepada orang yang lebih tua. Mengubah pandangan, cara berpakaian, bahkan nilai-nlai mereka. Reverse socialization dapat dideskripsikan sebagai suatu hal dimana orang yang seharusnya disosialisasikan justru mensosialisasikan. Mead mengatakan bahwa sosialisasi ini banyak terjadi pada masyarakat yang mengalami perubahan sosial dengan cepat. Agen sosialisasi berubah ketika seseorang menginjak masa remaja. Dimana sosialisasi dilakukan oleh peer group menjadi sangat bahkan lebih penting. Dan dalam sosialisasi oleh peer group ini, sekolah turut berperan karena anak-anak dan remaja melewatkan sebagian besar waktunya di sekolah. Dan sekolah memberikan peluang kepada remaja untuk dapat bergaul dengan teman sebaya dan mempersiapkan anak muda supaya dapat hidup dan bertahan dalam masyarakat.
3.      Masa dewasa
Ada tiga hal yang diharapkan terjadi pada masa ini yaitu bekerja, menikah dan memiliki anak. Dalam masa ini orang dewasa akan mengalami sosialisasi yang sifatnya lebih intensif, dan belum tentu sama dengan nilai dan norma yang telah diperolehnya pada masa sebelumnya. Dalam setiap lingkungan, orang dewasa harus bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam hal ini memerlukan kesiapan yang lebih agar dapat menjalani proses sosialisasi dengan baik.
a.       Sosialisasi dalam dunia kerja.
Individu dewasa mulai beradaptasi dengan waktu kerja, dengan jenis pekerjaan, disiplin kerja, dan aturan-aturan kerja agar ia dapat diterima dalam lingkungan pekerjaan dan bertahan.
b.      Sosialisasi dalam perkawinan.
Dalam perkawinan pun setiap individu harus melewati proses belajar mengenal masing-masing pasangannya, mereka harus belajar untuk mengatasi masalah dua orangyang berbeda nilai dan orientasinya. Proses belajar dalam tahap ini sebetulnya bukan saja diperoleh ketika individu itu menikah, tapi juga bisa diperoleh ketika remaja, melalui pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tuanya, seperti ” Bila kamu menikah nanti...” dan seterusnya. Selain orang tua, ada banyak pihak yang berpengaruh dalam sosialisasi tahap ini.
c.       Sosilisasi untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya.
Ketika individu dewasa mempunyai anak pun tetap mengalami proses belajar bagaimana peranan mereka menjadi orang tua dalam membesarkan dan merawat anak-anaknya. Agen sosialisasi dalam proses ini bisa orang tuanya sendiri atau teman sebayanya atau yang lainnya.
4.      Masa tua dan menuju kematian
Seseorang belajar untuk menjadi orang usia lanjut seperti seseorang belajar untuk menjadi remaja. Menurut Eitzen, orang lanjut usia merupakan transisi dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang mencapai usia lanjut mereka harus belajar bergantung kepada orang lain, belajar untuk tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar untuk waktu-waktu santai.
Ketika seseorang berada pada usia lanjut, mereka diperlakukan seperti anak kecil, sampai akhirnya seorang individu yang sangat tua diperlakukan sebagai non person. Proses sosialisasi bagi orang lanjut usia dimulai secara perlahan-lahan. Biasanya mereka akan mulai menyadari bahwa mereka harus mengurangi jam kerja dan melakukan kegiatan santai. Orang lanjut usia juga harusbelajar bergantung pada orang lain setelah bertahun-tahun lamanya hidup mandiri bahkan menghidupi anak-anak mereka. Anak-anak mereka sebenarnya sering membantu tetapi dengan hal tersebut malah membuat para lansia merasa diperlakukan seperti anak kecil. Belajar  menjadi lansia adalah sulit. Orang berusia lanjut harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menjadi tua. Keyakinan ini tidak mengizinkan orang tua untuk melakukan berbagai kegiatan terutama kegiatan yang dinilai tinggi oleh usia lain dalam masyarakat. Misalnya, orang lanjut usia tidak diterimauntuk atif secara seksual, tidak tertarik pada sekstau tidak mampu lagi dalm kegiatan seksual. Topik-topik ini selalu diperbincangkan secara humor oleh orang-orang yang berusia lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa diri mereka telah terisolasi dan terinternalisasi norma-norma dan nilai-nilai baru.
Tahap yang paling akhir dalam siklus kehidupan manusia adalah kematian. Sistem sosial memiliki mekanisme untuk mempersiapkan orang menuju kematiannya. Proses sosialisasi menuju kematian biasanya secara tidak sadar dialami oleh seseorang, seperti menghadiri pemakaman, karena apa yang terjadi di pemakaman sedikit banyak memberikan nilai-nilai baru yang akan menjadi bagian dari diri seseorang.
 
Sumber :http://najihulhimam-pendidikantanpabatas.blogspot.com/2011/12/bentuk-bentuk-sosialisasi.html

0 komentar: